Orang Betawi

Sejak jaman dahulu kala penduduk inti kota Jakarta dan sekitarnya (Bodetabek) adalah orang Betawi. Orang Betawi – sebelumnya disebut manusia proto Melayu Betawi – adalah manusia yang mendiami kawasan utara Jawa bagian Barat. Disebut proto karena manusia ini belum diketahui namanya. Manusia proto ini sudah berdiam di sini sejak paling tidak abad ke-5 sebelum Masehi. Begitulah informasi yang didapat setelah dilakukan penelusuran atau ekskavasi situs-situs bersejarah yang dilakukan arkeolog atau ahli kepurbakalaan pada tahun 1970-an (periksa buku berjudul Jakarta dari Tepian Air ke Kota Proklamasi karya Sagimun M.D, 1988; dan Historical Site of Jakarta karya Adolf Heuken Sj., 1995).

Ada pula informasi dari naskah klasik berjudul Syair Bujangga Manik. Syair ini menurut ahli naskah klasik, Prof. J. Noordhuyn, ditulis pada akhir paruh abad ke-15. Di situ disebutkan beberapa nama tempat sekitar Jakarta Kota, Labuan (Pelabuhan Kalapa), Pabeyaan (sekitar Meseum Bahari), Mandi Rancan (Jl. Kakap dan sekitarnya), Ancol Temyang (kemungkinan daerah Rowa Malaka). Lokasi Dunia Fantasi sekarang di Ancol adalah Ancol Kiji.

Berdasarkan syair itu tempat-tempat tersebut telah berpenduduk. Bahkan Mandi Rancang diduga adalah kawasan pemukiman. Seperti halnya Babelan yang merupakan kawasan pesisir, maka konsentrasi penduduk asli dapat diduga pada awalnya di kawasan pesisir. Pengelana Cina, Fa Hsien (414 M), mencatat adanya pemukiman di sekitar Ancol dan banyaknya penduduk yang hidup dari mencari ikan.

Lalu didapat juga informasi dari Peta Ciela (disimpan di Museum Sejarah Jakarta). Peta ini dibuat Pangeran Panembong pada sekitar akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16 (ditemukan pada 1858). Peta ini menyebut kawasan yang dibatasi sebelah wetan (timur) Kali Cisadane dan sebelah kulon (barat) Kali Citarum, adalah Nusa Kalapa.

Banyak yang berpendapat bahwa kata Betawi berasal dari transliterasi Arab Batavia. Tetapi dalam naskah-naskah Betawi yang ditulis pada abad ke 18 dan 19 cara menuliskan Batavia sebagai kota adalah Batafiya, dan cara menuliskan Betawi sebagai nama suku bangsa adalah Batawi. Diduga sebelum kota pendudukan Belanda itu oleh Belanda diganti namanya menjadi Batavia, nama Betawi sebagai nama suku bangsa sudah dikenal.

Belanda memberikan nama Batavia kepada kawasan bekas lokasi Keraton Jayakarta yang ditaklukkannya pada tahun 1620-an ini, dimana sebelumnya pada tahun 1619 tempat itu diberi nama Jacatra. Batavia adalah binnenstad, sebuah kota tertutup untuk penduduk. Tidak dapat dipastikan bahwa pada ketika itu juga terjadi sosialisasi nama kota itu sehingga terdengar di luar binnenstad. Tidak dapat dipastikan kapan Batavia sebagai nama kota diketahui secara luas oleh penduduk binnenstad dan pemakai jasa pelabuhan Kalapa. Orang Cina menyebut kota itu sebagai Ch’lopa (Kalapa).

Kesimpulannya, Batavia adalah nama kota yang semula disebut Bandar Kalapa, Sunda Kalapa, Nusa Kalapa, Jayakarta, Batavia, Jakurata, dan akhirnya menjadi Jakarta. Nama terakhir digunakan sampai saat ini. Sementara Betawi adalah nama suku atau etnik yang mendiami kawasan ini.

Pada proses selanjutnya, Orang Betawi bergerak atau bergeser mencari tempat hunian. Semula mereka mendiami kawasan pesisir, lalu pergerakan penduduk dari pesisir ke tengah sampai kawasan pinggir. Kecuali mata pencahariannya, maka kebudayaan penduduk pesisir dan tengah sulit dibedakan. Orang Betawi yang mendiami kawasan pinggiran kota dan udik hidup dari pertanian. Ini merupakan hasil adaptasi dengan etnik Sunda yang hidup berdampingan dengan mereka. Orientasi kebudayaannya cukup dekat dengan pusat kekuasaan Pajajaran di Bogor. Sedangkan orientasi kebudayaan pesisir dan tengah cenderung memiliki berbagai unsur mengingat fungsi Labuan Kalapa sebagai pelabuhan internasional yang menjadi pusat kehidupan ekonomi.

Pengaruh kebudayaan Melayu cukup kuat pada masyarakat penduduk pesisir dan tengah, dan pengaruh kebudayaan Sunda cukup kental pada kebudayaan pinggiran dan udik. Namun keempat subwilayah budaya itu diikat dalam bahasa yang sama: bahasa Melayu.

Persebaran bahasa Melayu ke selatan (pinggiran dan udik) karena kali Ciliwung. Pinggiran dan udik adalah kawasan penyangga keperluan dasar pesisir dan tengah. Sehari-hari kali Ciliwung memediasi hubungan budaya dan bahasa keempat sub wilayah kebudayaan tersebut.

Pengaruh bahasa Sunda pada penduduk pinggiran dan udik lemah karena secara ekonomi mereka lebih banyak berurusan dengan orang-orang di ilir (utara). Adanya vassal-vassal kerajaan Sunda Pajajaran di Nusa Kalapa seperti Tanjung Jaya dan Cinagara (sebagaimana disebut dalam naskah-naskah Sunda) lebih berfungsi sebagai pemungut bea (pajak), daripada sebuah agen kebudayaan.

Jadi jika berbicara Orang Betawi, tidak hanya terbatas pada orang-orang yang tinggal di wilayah administratif belaka, melainkan mengkaitkannya dengan wilayah budaya (cultural area). Wilayah budaya Betawi kini berada pada wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten (Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan), Provinsi Jawa Barat (Kota dan Kabupaten Bekasi, Kota Depok, dan beberapa kecamatan di kabupaten Bogor seperti Cibinong serta Kerawang bagian Barat). Yang masih terasa kental pada ekspresi kebudayaan di tempat-tempat ini adalah bahasa dan perilaku atau siklus kehidupannya.

Kini masyarakat Betawi  bertempat tinggal menyebar di tiga propinsi yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten, dan Provinsi Jawa Barat. Di masa datang bisa jadi kawasan-kawasan yang semula menjadi titik utama domisili masyarakat Betawi akan tergeser. Pergeseran ini kian kuat didorong oleh fungsi kawasan tradisional yang berubah menjadi kawasan modern, sehingga mengalahkan unsur budaya tradisional.

(Yahya Andi Saputra)